Rabu, 11 Mei 2011

Jalan itu Saksi Bisu *




Kayyisa Rafeyfa. Orang-orang di kampungku memanggilku Kais. Tahun ini aku melanjutkan pendidikanku disebuah perguruan tinggi negeri di ibu kota. Pontianak.
***
 Aku memandangi ruang kelas baruku. Ah lumayan. Ada kipas angin yang menyejukkan ruangan. Cat tembok bersih. Mungkin karena gedung ini masih baru dibanding  yang  lain. Cuma harus naik turun tangga setiap harinya. Gumamku  dalam hati.
            Hari itu adalah hari pertama aku memasuki ruang kuliahku disebuah perguruan tinggi negeri setelah seminggu sebelumnya aku diOSPEK oleh senior-seniorku. Tak ada teman yang aku kenal saat  itu. Kalaupun ada kelas mereka berbeda. Jadilah hari-hari yang sangat  membosankan bagiku. Yang lebih menyulitkan lagi, aku tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan sedikit pendiam. Karena aku adalah anak daerah, jauh dari ibu kota. Hal inilah yang menyebabkan aku sangat susah untuk mencari teman. Dan orang-orang di sekitarku mengira aku adalah anak yang sombong.
            Kejadian ini kurang lebih terjadi selama dua minggu. Sampai pada akhirnya aku menemukan teman pertamaku.  Namanya Qisya, Qisya Okta. Sekilas nama kami terdengar sama, seperti anak kembar. Qisya adalah anak ibu kota, tapi ia tidak sombong seperti yang  lain. Orangnya sedikit pendiam menurutku. Mungkin karena kami masih baru berteman. Tidak  banyak cerita di antara kami saat itu.
            Dua minggu berikutnya Qisya mulai bercerita banyak denganku. Senang rasanya. Karena aku memang tipe orang yang good  listener. Mulai dari cerita SMA sampai pacar. Padahal kalau aku hitung mungkin Qisya tidak akan bercerita sebanyak itu denganku. Pertama karena penampilanku berbeda 180 derajat dengannya. Biasanya orang merasa segan bercerita denganku. Tapi tidak bagi Qisya. Kedua, kami baru berteman. Ah mungkin Qisya percaya denganku, pikirku saat itu. Aku mulai merasa senang berada di kampus.
            Suatu hari Qisya mengajakku ke tempat perbelanjaan islami.  ”Kais, temankan aku ke ChiQa  Collection ya!, aku ingin membeli sesuatu kayak punya kamu” pinta Qisya saat itu.  Aku bingung. Mencoba berfikir keras. Apa yang Qisya lihat dariku sehingga dia ingin membeli sesuatu seperti yang aku punya. Penampilanku sangat sederhana, hanya jilbab yang sedikit lebar, serta rok dan baju longgar. Tidak ada yang bisa aku banggakan untuk penampilanku.  ”Baiklah. Kapan?”, jawabku .”Habis mata kuliah ini ya”, tambah Qisya. ”Ok”,ucapku sambil merapikan buku.
            Aku dan Qisya berjalan menuju toko yang Qisya maksud, kebetulan tidak jauh dari kampus. Sebelum sampai di tempat tujuan Qisya menunjukkan jarinya pada lenganku, ”Aku ingin membeli engkel tangan seperti punyamu Kais”. ”Oo.. rupanya ini yang ingin  kamu beli Qisya.”sambungku. Qisya lalu memakai engkel tangan yang baru dibelinya. Ternyata engkel itu kendor di lengannya. Duh Qisya, lenganmu kecil sekali bisik hatiku

***
Pagi ini terasa ramai sekali menurutku. Maklum teman kelasku yang akan presentasi makalah sedang sibuk mempersiapkan dirinya untuk maju beberapa menit  lagi. Belum lagi tugas mata kuliah kedua yang belum selesai. Jadilah teman yang sudah mengerjakan di rumah harus rela menjadi ”korban” contekan teman-temanku.
”Assalamu’alaikum”, ucap Pak Agus sambil memasuki kelasku hari itu. Lalu ia duduk dan membuka lembar absensi. ”Wa’alaikumsalam”, jawab kami serentak. ”Kita buka kuliah kita dengan basmallah”. ”Bismillairrahmanirrahim....”.
”Ardi”, Pak Agus mengawali absennya ”Ga hadir pak”, jawab salah satu temanku. Kebetulan hari itu Ardi tidak masuk. Kami pun tidak tahu kabarnya.
”Ayo kelompok berapa yang maju makalah hari ini?”, tanya Agus pada kami.  Pak Agus adalah dosen mata kuliah Ilmu Hadits.  Ia sangat kompeten sekali dalam mata kuliah yang diajarkannya pada kami. Di mataku dan teman-temanku, Pak Agus adalah dosen yang paling baik seantero dosen di jurusan kami. Bapak tidak pernah mempersulit kami dalam segala hal. Cuma satu yang sering beliau tekankan pada kami sebagai mahasiswa. Berpenampilanlah yang rapi, karena itu salah satu modal kalian untuk menarik perhatian orang lain, selain keilmuan kalian. Itulah kata-kata ”sakti” yang selalu aku ingat dari dosenku satu itu. Bapak juga selalu mengingatkan para mahasiswinya agar tidak mengenakan celana atau baju ketat yang membentuk lekuk-lekuk tubuh, kasian tubuh ”susah bernafas” candanya. Bapak juga mengarahkan sebaiknya mengenakn rok saja, tampak lebih anggun. Ucapnya suatu hari. Dan benar saja beberapa hari berikutnya tampak banyak mahasiswi yang mengikuti sarannya.
* * *
            Hari itu, bapak meminta ketua tingkat kelas kami untuk membuatkan kopi untuknya. Tak biasa memang, karena hari-hari sebelumnya kami hanya menyuguhkan air putih utuknya.  ”Saya agak ngantuk, bikinkan saya kopi ya !”,pinta Pak Agus pada ketua tingkat  kami. ”Baiklah Pak. Sebentar ya”. jawabnya
            Beberapa menit berlalu, kopipun datang. Pak Agus segera meminum kopi itu. Sambil membiarkan temanku sibuk menjelaskan makalah mereka. Setelah tanya jawab dan diskusi yang cukup panjang. Moderatorpun menyudahi presentasi kali itu. Dan mengembalikan ke Pak Agus.
            Tidak banyak tambahan yang diberikan Pak Agus. Ia terlihat lelah sekali. Bapak pun menyudahi perkuliahan kami dengan salamnya. ”Kita akhiri kuliah kita dengan membaca hamdalah. Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.”
”Wa’alaikumsalam wa rahmatullah wa barakatu”. Sesaat kelas sepi, karena memang mata kuliah tadi adalah mata kuliah terakhir hari itu.
            * * *
            Keesokan harinya....
            Huh ku pikir  telat. Gumamku dalam hati. Eh rupanya masih pada di luar. Saat menyaksikan banyak teman-temanku yang berada di parkiran. Tempat kami berkumpul sambil menunggu dosen, biasanya. Tapi ada yang aneh pikirku. Kok hampir semua mahasiswa jurusan berada di luar kelas, terlihat sibuk dan tampak raut kesedihan di wajah mereka. Apa apa ini ?
            Aku mencoba menyelesaikan teka-teki dan kebingunganku dengan bertanya pada salah seorang temanku. ”Kok ga masuk ?” aku membuka pertanyaan. ”Kita mau pergi takziyah” jawabnya. ”Memang siapa yang meninggal ?” tanyaku penasaran. ”Kamu belum tau ?”temanku balik bertanya. ”Pak Agus.” jawabnya singkat. ”Innalillahi wa inna ilaihi raji’un”.Aku kaget sekali mendengarnya
            Seketika itu juga aku panik. Bertanya ke sana ke mari mencari info yang baru saja aku dengar. Aku ingin ikut bersama mereka untuk takziah. Tapi aku berangkat pakai apa. Hari ini aku diantar adik.O iya, pinjam motor temanku di jurusan lain. Aku langsung bergegas menemuinya. Setelah dapat pinjaman motor, aku menghubungi sahabatku Qisya. Aku berangkat bersamanya. Teman-teman yang lain sudah berada di depan.
            Tiba di kediaman Pak Agus...
            Banyak sekali orang datang. Parkir motor orang-orang yang datang melayat berjejer dari kediaman bapak sampai depan gang rumah beliau. Mobil-mobil juga tidak kalah banyaknya. Maklum bapak mengajar di beberapa tempat, belum lagi para tetangga, keluarga dan orang-orang yang mengenal beliau. Tanpa terasa air mataku jatuh. Aku belum pernah menangisi orang di luar keluargaku seperti ini. Sedih sekali rasanya. Allah terima amalnya, ampuni dosanya dan berikan ia ”bidadari” Syurga-Mu. Doa’ku untuk bapak. Kalimat itu begitu saja terlintas dalam benakku, karena memang bapak belum menemui jodohnya di dunia. Bapak seorang yang shalih. Baik akhlak dan juga hafidz Qur’an.
            * * *
            Di kelas keesokan harinya...
            Cerita-cerita seputar ”kepergian” Pak Agus masih menjadi topik hangat di kelas kami. Banyak teman-teman yang merasa kehilangan. Termasuk aku. ”Apa sebab kepergian bapak?” tanyaku pada Eni teman kelasku. ”Tabrakan,” singkatnya. ”Kapan?” tanyaku penasaran. ”Habis mengisi perkuliahan  kita kemarin”
            Aku tambah kaget. Kemarin? Habis ngajar? Berbagai pertanyaan muncul dalam hatiku. Aku me-review kembali ingatanku pada saat bapak mengajar sehari sebelumnya. Bapak minta buatkan kopi karena merasa dirinya mengantuk. Dan mungkin karena itulah bapak jadi tidak konsentrasi saat mengendarai sepeda motornnya saat dalam perjalanan pulang. Ah...bapak telah ”tidur” selamanya.

***
            Qisya mendekat padaku. Seketika itu pula ia bercerita. Padahal saat itu kami masih dalam perkuliahan. ”Aku belum siap untuk mati”, Qisya mengawali ceritanya. ”Maksudnya,” tanyaku heran. Karena tidak biasanya Qisya bercerita seperti itu padaku. ”Ada apa sebenarnya Qisya?”. ”Aku mimpi mati Kais. Aku takut sekali. Aku belum memiliki bekal untuk menghadap-Nya”.        ”Tumben,” timpalku dengan sedikit bercanda.  ”Aku serius Kais”, Qisya menatap lekat wajahku.
            ”Baiklah, aku  minta maaf. Tapi ceritanya di sambung ntar aja ya. Ga enak sama Ibu di depan, beliau capek-capek ngejelasin eh kita malah ngobrol”.        ”Iya. Janji ya?!” Qisya memastikan.”OK boss”. Aku kembali serius dengan penjelasan dosenku di depan. Sesekali muncul pernyataan sahabatku Qisya tentang kematian. Ada apa gerangan?...
            ***
            ”Apa maksudmu dengan tidak siap mengahadapi kematian?”. pertanyaan itu mengawali pembicaraan kami. ”Aku juga bingung Kais. Sepertinya apa yang aku lakukan selama ini tidak  membuatku merasa menyiapkan bekal untuk satu hal itu. Tadi malam aku mimpi aku mati dan itu udah untuk kesekian kalinya. Aku juga bermimpi tentang Pak Agus yang beberapa waktu lalu telah mendahului kita menghadapNya”
            ”Kok kamu ga pernah cerita padaku”
            ”Aku bingung. Takut. Bermacam-macam perasaan hadir setelah beberapa kali mengalami hal itu. Kamu bisa liat aku kan Kais? Aku seperti apa  selama ini” Qisya panjang lebar
            ”Iya, iya aku ngerti. Jadi?”
            ”Aku ingin berubah Kais. Mungkin aneh menurutmu. Tapi aku merasa itulah satu-satunya cara agar aku bisa menyiapkan bekal. Aku ingin memperbaiki diri. Bantu aku Kais!”. Begitulah Qisya beberapa hari ini. Dia sering membicarakan masalah kematian. Apalagi semenjak kepergian Pak Agus. Mudah-mudahan banyak hikmah dibalik kejadian ini.
* * *
            Aku mendekati Qisya. Kelihatannya sahabatku yang satu ini benar-benar dillema. Dari wajahnya aku melihat Qisya sedang tidak bersemangat. ”Aku punya cara buatmu Qisya”, tiba-tiba saja ada ide dalam otakku.    ”Apa itu?”, tanya Qisya tak sabar.
            ”Ya seperti yang pernah kamu katakan sebelumnya. Kamu harus merubah kondisimu. Di mulai dari sini?”aku memegang dadaku menandakan yang ku maksud adalah hati.
            ”Bagaimana caranya Kais?”, .tambahnya semakin penasaran. ”Aku sarankan kamu sering-sering baca buku tentang urgensi perubahan diri. Kalo meminjam bahasanya Aa Gym, ya manajmen Qalbu gitu”
            ”Terus!”
            ”Hadiri kajian-kajian keislaman dan cari lingkungan yang bisa mendukung perubahanmu itu”
            ”Gitu ya?”
            ”Menurutku sih. Jangan lupa minta sama Allah agar meluruskan niat baikmu itu”
            ”Insyaallah aku akan mencobanya. Dukung aku ya..., jangan lupa ingatkan kalu aku sedang salah”, ia tersenyum
            ”Sama-sama. Aku juga”
            Kami pun berpisah di simpang jalan depan kampus kami.  Aku pulang dengan perasaan tenang karena bisa melihat sahabatku kembali ceria seperti biasanya. Begitupun Qisya. Ia bertekad untuk memulai lembar baru hidupnya.
***
            Beberapa hari Qisya belum terlihat nyata dalam metamerfosenya. Ia masih seperti biasa. Gaya bicaranya, pakainnya, tingkah lakunya. Akupun seperti biasa.  Dengan kuliahku dan aktivitas organisasi yang aku ikuti di kampus.
            ”Rabu besok kamu ada acara ga Qisya?”
            ”Memangnya ada apa is?”
            ”Tu ketauan deh ga baca mading”
            ”Iya-iya aku ngaku”
            ”Memangnya kenapa”, Qisya ’melembut’
            ”Ada kajian di masjid kampus kita. Ada pamfletnya lho di mading. Insyaallah yang ngadain dari UKM LDF Al Ilmi. Datang ya”
            ”Insyaallah. Jam berapa?”
            ”Jam satu”
* * *
            Siang di masjid kampus...
            Aku dan teman-teman LDF masih menunggu pemateri datang. Sementara teman-teman yang ingin megikuti kajian telah memenuhi beberapa sudut masjid. Qisya  belum terlihat dari teman-teman fakultas yang hadir.
            Sepuluh menit kemudian, tepatnya jam 12.55 pemateri yang ditunggu-tunggu datang. Qisya belum juga tampak. Padahal kajian sudah mau dimulai. Lima belas menit berlalu. Materi yang disampaikan sangat menarik, dengan gaya bahasa yang meremaja. Maklum sasaran kita adalah mahasiswa semeter awal yang masih belum sepenuhnya meninggalkan ciri anak SMA. Ditambah dengan sedikit humor yang menjadikan peserta kajian tidak merasa ngantuk dan enjoy meski dalam kondisi siang yang panas dan ”diceramahi”. Aku senang melihat peserta kajian yang antusias. Di sisi lain ada kekhawatiranku mengenai Qisya. Ke mana gerangan sahabatku itu.
            Qisya tidak memberi kabar padaku. Di hubungi ke Hp nya ga aktif. Duh Qisya kamu di mana sekarang. Menutupi kekhawatiranku aku membantu rekan LDFku membagikan air minum kepada peserta kajian, sambil sesekali memperhatikan pintu masjid. Berharap Qisya hadir.
            Setengah jam berlalu. Akhirnya Qisya datang. Aku senang sekali. Karena kajian kali ini tema yang di ambil rekan-rekan LDF sesuai usulku pada waktu rapat beberapa hari sebelumnya. Aku sengaja mengambil tema yang menurutku dapat membantu sahabatku Qisya yang bisa jadi juga dialami peserta atau teman-teman fakultas yang ingin melakukan perubahan.
            ”Ulat vs Kupu-Kupu; Metamerfose Diri Menjadi Lebih Baik”. Agak aneh bin lucu memang tema yang ku ajukan pada rekan-rekan LDF ku. Tapi akhirnya toh di terima juga. Dengan berbagai alasan yang aku kemukakan. Jujur, sebenarnya aku sendiri bingung memilih kata-kata yang tepat untuk alasan-alasan yang aku kemukakan.
            Di sesi tanya jawab ternyata memang Qisya yang paling banyak mengajukan pertanyaan. Semoga kajian ini menjadi salah satu pendukungmu Qisya.
            Kajianpun berakhir karena jam telah menunjukkan pukul 15.00. Berarti sebentar lagi akan masuk waktu Ashar. Aku membantu membereskan barang-barang sisa kajian tadi. Kebetulan aku sedang kedatangan tamu bulanan. Jadi biar aku yang beres-beres pintaku pada rekan salah akhwat (saudara perempuan)ku. Kamu wudhu aja dulu.
            Tiba-tiba Qisya datang mendekat padaku dari arah tempat wudhu. Aku yang sehabis beres-beres membaca buku di teras masjid kaget. Dia menepuk pundakku.
            ”Kais habis ini temankan aku nyari jilbab ya”
            ”Di mana?”
            ”Tempat biasa.”
            ”Iya, insyaallah”
            ”Aku shalat dulu ya”.
            ”Aku tunggu di sini”
* * *
Setelah shalat aku dan Qisya pergi ke ChiQa Collection, tempat biasa kami berbelanja baku-buku dan barang-barang islami lainnya. Qisya terlihat semangat sekali. Dia memilih-milih jilbab ambil sesekali menanyakan komentarku tentang jilbab yang dipilihnya. Sementara aku melihat-lihat buku-buku baru.
Lumayan lama kami di tempat itu. Akhirnya setelah mendapat jilbab yang tepat Qisya langsung ke kasir untuk membayar belanjaannya. Kemudian kami berpisah dan pulang ke rumah masing masing.
* * *
            Seusai shalat malam aku teringat Qisya. Ku ambil Hp dan mengedit SMS yang ada di Archive Hp-ku. SMS itu dikirim oleh temanku saat aku baru bersemangat untuk belajar mengenal agamaku, kurang lebih setahun yang lalu. Cukup lama memang ia bersemayam  di Hp-ku.
”Q minta pd Allah stangkai bunga, Allah mmberiku kaktus berduri. Q minta pd Allah binatang mungil dn cantik, Allah mmberiku ulat brbulu. Aq sedih, protes dn kcewa. Btapa tdk adilnya ini. Namun kemudian katus itu brbunga, indah bahkan sat indah. Dn ulatpun brubah mnjd kupu-kupu yg sngt cantik. Itulah jalan Allah, indah pd wktunya. Allah tdk mmberi apa yang kita inginkan,tpi mmberi apa yang qt butuhkan. Kadang qt sedih, kecewa dn terluka. tp jauh d atas segalanya, Allah sdg merajut yg trbaik u/ kehidupan qt.”
            Begitulah kira-kira SMSku pada Qisya. Aku menaruh Hp ku di atas meja. Setelah melipat  mukena dan sajadah aku tidur kembali
* * *

            Dalam perjalananku ke masjid kampus untuk shalat dhuha aku bertemu dengan sosok wanita anggun berjilbab lebar. Ternyata wanita itu adalah Qisya sahabatku.  Dia mengenakan jilbab bermotif warna hitam putih yang dibelinya bersamaku kemarin dengan baju putih dan rok senada. Sangat anggun.....Semoga  ini adalah kupu-kupu hasil metamerfose Qisyaku. Istiqomahkan ia ya Rabb...
            Aku tersenyum melihatnya, iapun membalas senyumku. Kuhampiri dan kujabat tangannya, lalu ia ’cipika-cipiki’ padaku.
            ”Selamat ya Qisya, semoga istiqomah. Keep Hamasah (semangat) !”
            ”Syukron ukhti (terima kasih, panggilan untuk saudara perempuan), jazakillah khair (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik)”
***
Qisya memintaku untuk mengantarnya pulang siang itu. ”Aku buru-buru ni Kais. Antar Aku ya” pintanya. ”Ke daerah mana ?Soalnya aku ga bisa lama” tanyaku. ”Ga jauh kok”. ”Iya”. Jawabku sekenanya
            Aku mengambil motor di parkiran depan kelasku. Agak susah untuk mengeluarkannya karena banyak motor yang berada di belakang motorku. Duh aku butuh tukang parkir ni. Bathinku. Tapi sayangnya tidak ada tukang parkir di sini. Dengan susah payah aku mencoba mengeluarkan motorku. Mana Qisya buru-buru lagi. Untung ada salah satu teman kelasku yang cowok lewat.
            ”Bantu aku dong man!” pintaku
Namanya Arman. Dia adalah ketua tingkat di kelasku.
            ”Iya. Kamu keluarlah dari situ!”
Akupun mengikuti perintahnya. Layaknya seorang prajurit mentaati komandannya. Tak lama setelah itu motorkupun bisa di keluarkan oleh ketua tingkatku yang banyak akal itu.
            ”Maksi ya man”. ”Sama-sama. Udah mau pulang?”. ”iya, tapi ngantar Qisya dulu. Duluan ya. Assalamu’alaikum. Wa’alaikumsalam
            Aku menghampiri Qisya dan mengajaknya naik ke motor. Qisyapun naik. ”Udah?” aku memastikan Qisya sudah berada di motorku. ”Udah” jawabnya
            Aku meng-gas perlahan motorku, karena banyak mahsiswa lain berada di depanku.Mereka juga baru pulang tampaknya. Aku membunyikan klakson sambil tersenyum sebagai kebiasaanku menyapa penjaga kampusku yang biasa berada di pos satpam dekat pintu gerbang kampusku.
* * *
Kami hanya diam dalam perjalanan kami di tiga menit pertama. Sampai di lampu merah aku memulai pembicaraan. ”Gimana pendapat temanmu tentang perubahanmu Qisya?”. ”Duh mereka kaget banget. Banyak komentar. Tapi ga pa pa sih. Ada yang bilang bau syurga. Berubah karena aku  ikut organisasi.  Macam-macam pokoknya”
”Ah  biasa. Aku juga kaya gitu waktu pertama hijrah. Islam itu datang dalam keadaan asing. Dan justru kebaikan itu dianggap asing oleh kebanyakan orang. Tapi yakinlah, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita. Allah juga akan menolong kita ketika kita menolong agamanya.” Aku berpanjang lebar.
”Kamu benar Kais. Mungkin ini adalah ujian lain buatku. Apakah aku akan tetap istiqomah dengan style yang baru.”. ”Semoga ”harapku. ”Orang tuamu di kampung sudah tau ?”. ”Belum Kais. Aku belum berani memberitahu mereka. Ntar aja deh, kalo aku pulang kampung. Sekalian bikin sureprise pada mereka”. ”Aku do’akan mereka menerimamu Qisya”. ”Amin”
Tak terasa kami hampir sampai di rumah Qisya. ”Belok kanan ya” Qisya memberi arahan padaku. Kamipun sampai. ”Terima kasih ya Kais”. ”Sama-sama. Aku langsung pulang ya..., Assalamu’alaikum”. ”Wa’alaikumsalam wa rahmatullah. Hati-hati”
Aku pulang. Sebelumnya aku mampir ke kos temanku untuk mengambil buku karena sudah janjian sebelumnya.
* * *
            Malam harinya setelah belajar. Aku membuka buku catatan harianku. Sudah lama aku tidak menyentunya.
            ”Maafkan aku Ry, sudah lama aku tidak berbagi cerita denganmu” aku menuliskan permintaan maafku pada diaryku.
            ”Di jalan itu kita bertemu. Bersama mencari arti sebuah keikhlasan dan pengorbanan dalam derunya jalan panjang. Namun satu yang takkan hilang adalah dikau saudara seperjuangan yang memberiku makna tak terbilang”
 * * *
Begitu hari-hariku seterusnya. Kami sering mengikuti kajian keislaman bersama-sama. Akupun sering mengantar Qisya pulang setelah  perkuliahan selesai dan setelah kami shalat dhuhur di masjid kampus. Dalam perjalanan pulang selalu ada cerita di anatara kami. Dan ukhuwah itu semakin terasa. Jalan itu adalah saksi bisu cerita-cerita kami. Terima kasih Rabb.

”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan kecintaan kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam dakwah-Mu dan berjanji setia untuk membela syari’at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, Ya Allah. Kekalknlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal bepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di Jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kami Muhammad, keluarganya dan sahabatnya dan orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya”
Begitu do’aku untuk saudara-saudaraku seusai shalat malam, malam itu


*oleh Ummu Hanifa
STAIN 07
>diterbitan dalam buku Antologi Cerpen FLP Kalbar "Mozaik Peradaban Khatulistiwa"

خَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,(maryam:59)
khatulistiwa young entrepreneur community